Berbicara
budaya adalah berbicara pada ranah sosial dan sekaligus ranah individual. Pada
ranah sosial karena budaya lahir ketika manusia bertemu dengan manusia lainnya
dan membangun kehidupan bersama yang lebih dari sekedar pertemuan-pertemuan
insidental. Dari kehidupan bersama tersebut diadakanlah aturan-aturan,
nilai-nilai kebiasaan-kebiasaan hingga kadang sampai pada
kepercayaan-kepercayaan transedental yang semuanya berpengaruh sekaligus
menjadi kerangka perilaku dari individu-individu yang masuk dalam kehidupan
bersama. Semua tata nilai, perilaku, dan kepercayaan yang dimiliki sekelompok
individu itulah yang disebut budaya.
Pada
ranah individual adalah budaya diawali ketika individu-individu bertemu untuk
membangun kehidupan bersama dimana individu-individu tersebut memiliki keunikan
masing-masing dan saling memberi pengaruh. Ketika budaya sudah terbentuk, setiap
individu merupakan agen-agen budaya yang memberi keunikan, membawa perubahan,
sekaligus penyebar. Individu-individu membawa budayanya pada setiap tempat dan
situasi kehidupannya sekaligus mengamati dan belajar budaya lain dari
individu-individu lain yang berinteraksi dengannya. Dari sini terlihat bahwa
budaya sangat mempengaruhi perilaku individu.
Budaya
telah menjadi perluasan topik ilmu psikologi di mana mekanisme berpikir dan
bertindak pada suatu masyarakat kemudian dipelajari dan diperbandingkan terhadap
masyarakat lainnya. Psikologi budaya mencoba mempelajari bagaimana faktor
budaya dan etnis mempengaruhi perilaku manusia. Di dalam kajiannya, terdapat
pula paparan mengenai kepribadian individu yang dipandang sebagai hasil
bentukan sistem sosial yang di dalamnya tercakup budaya. Adapun kajian lintas
budaya merupakan pendekatan yang digunakan oleh ilmuan sosial dalam
mengevaluasi budaya-budaya yang berbeda dalam dimensi tertentu dari kebudayaan.
Pembahasan
Sebagai
makhluk yang dapat berpikir, manusia memiliki pola-pola tertentu dalam
bertingkah laku. Tingkah laku ini menjadi sebuah jembatan bagi manusia untuk
memasuki kondisi yang lebih maju. Pada hakikatnya, budaya tidak hanya membatasi
masyarakat, tetapi juga eksistensi biologisnya, tidak hanya bagian dari
kemanusiaan, tetapi struktur instingtifnya sendiri. Namun demikian, batasan
tersebut merupakan prasyarat dari sebuah kemajuan.
Lewin
memberikan penjelasan mengenai peranan penting hubungan pribadi dengan
lingkungan. Meksipun terdapat konstruk psikologis individu yang sulit ditembus
oleh lingkungan luar, lingkungan masih tetap memiliki kontribusi dalam
perkembangan individu. Dalam teori Medan yang digagas Lewin ini, pribadi tak
dapat dipikirkan secara terpisah dari lingkungannya.
Kelly
mendefinisikan budaya sebagai bagian yang terlibat dalam proses harapan-harapan
yang dipelajari/dialami. Orang-orang yang memiliki kelompok budaya yang sama
akan mengembangkan cara-cara tertentu dalam mengonstruk peristiwa-peristiwa,
dan mereka pun mengembangkan jenis-jenis harapan yang sama mengenai jenis-jenis
perilaku tertentu.
Terdapat
suatu benang merah antara pendapat Lewin dan Kelly. Individu senantiasa
bersinggungan dengan dunianya (lingkungan). Sementara itu, sebagai masyarakat
dunia, manusia mungkin saja mengembangkan kebudayaan yang hampir sama antara
satu masyarakat dengan masyarakat lainnya.
Jika
diamati, saat ini manusia sering kali menghadapi permasalahan yang disebabkan
oleh budaya yang tidak mendukung. Ketika pengaruh budaya buruk mempengaruhi
kepribadiaan seseorang maka dengan sendirinya berbagai masalah yang tidak di
inginkan akan terjadi secara terus-menerus. Sebagai contoh, ketika budaya
berpakaian minim bagi kaum perempuan masuk ke Indonesia, muncul berbagai
perdebatan.
Kepribadian dalam Lintas Budaya
Kepribadian merupakan konsep dasar psikologi
yang berusaha menjelaskan keunikan manusia. Kepribadian mempengaruhi dan
menjadi kerangka acuan dari pola pikir dan perilaku manusia, serta bertindak
sebagi aspek fundamental dari setiap individu yang tak lepas dari konsep
kemanusiaan yang lebih nesar, yaitu budaya sebagai konstuk sosial.
Menurut
Roucek dan Warren, kepribadian adalah organisasi yang terdiri atas
faktor-faktor biologis, psikologis dan sosiologis sebagaimana digambarkan oleh
bagan di bawah ini:
Definisi kepribadian
Hal
pertama yang menjadi perhatian dalam studi lintas budaya dan kepribadian adalah
perbedaan diantara keberagaman budaya dalam memberi definisi kepribadian. Dalam
literature-literatur Amerika umumnya kepribadian dipertimbangkan sebagai perilaku,
kognitif dan predisposisi yang relatif abadi. Definisi lain menyatakan bahwa
kepribadian adalah serangkaian karakteristik pemikiran, perasaan dan perilaku
yang berbeda antara individu dan cenderung konsisten dalam setiap waktu dan
kondisi. Ada dua aspek dalam definisi ini, yaitu kekhususan (distinctiveness)
dan stablilitas serta konsistensi (stability and consistency).
Semua
definisi di atas menggambarkan bahwa kepribadian didasarkan pada stabilitas dan
konsistensi di setiap konteks, situasi dan interaksi. Definisi tersebut
diyakini dalam tradisi panjang oleh para psikolog Amerika dan Eropa yang sudah
barang tentu mempengaruhi kerja ataupun penelitian mereka. Semua teori mulai
dari psikoanalisa Freud, behavioral approach Skinner, hingga humanistic Maslow-Rogers
meyakini bahwa kepribadian berlaku konsistan dan konsep-konsep mereka berlaku
universal.
Dalam
budaya timur, asumsi stabilitas kepribadian sangatlah sulit diterima. Budaya
timur melihat bahwa kepribadian adalah kontekstual (contextualization).
Kepribadian bersifat lentur yang menyesuaikan dengan budaya dimana individu
berada. Kepribadian cenderung berubah, menyesuaikan dengan konteks dan situasi.
Locus of control
Hal
paling menarik dari hubungan kepribadian dengan konteks lintas budaya adalah masalah
locus of control. Sebuah konsep yang dibangun oleh Rotter (1966) yang
menyatakan bahwa setiap orang berbeda dalam bagaimana dan seberapa besar
kontrol diri mereka terhadap perilaku dan hubungan mereka dengan orang lain
serta lingkungan.
Locus
of control kepribadian umumnya dibedakan menjadi dua berdasarkan arahnya, yaitu
internal dan eksternal. Individu dengan locus of control eksternal melihat diri
mereka sangat ditentukan oleh bagaimana lingkungan dan orang lain melihat
mereka. Sedangkan locus of control internal melihat independency yang besar
dalam kehidupan dimana hidupnya sangat ditentukan oleh dirinya sendiri.
Sebagai
contoh adalah penelitian perbandingan antara masyarakat Barat (Eropa-Amerika)
dan masyarakat Timur (Asia). Orang-orang Barat cenderung melihat diri mereka
dalam kaca mata personal individual sehingga seberapa besar prestasi yang
mereka raih ditentukan oleh seberapa keras mereka bekerja dan seberapa tinggi
tingkat kapasitas mereka. Sebaliknya, orang Asia yang locus of control kepribadiannya
cenderung eksternal melihat keberhasilan mereka dipengaruhi oleh dukungan orang
lain ataupun lingkungan.
Budaya dan Perkembangan Kepribadian
Kepribadian
manusia selalu berubah sepanjang hidupnya dalam arah-arah karakter yang lebih
jelas dan matang. Perubahan-perubahan tersebut sangat dipengaruhi lingkungan
dengan fungsi–fungsi bawaan sebagai dasarnya. Stern menyebutnya sebagai Rubber
Band Hypothesis (Hipotesa Ban Karet). Seseorang diumpamakan sebagai ban karet
dimana faktor-faktor genetik menentukan sampai mana ban karet tersebut dapat
ditarik (direntangkan) dan faktor lingkungan menentukan sampai seberapa panjang
ban karet tersebut akan ditarik atau direntangkan. Dari hipotesa di atas dapat
disimpulkan bahwa budaya memberi pengaruh pada perkembangan kepribadian
seseorang. Perubahan-perubahan yang terjadi pada seorang anak yang tinggal
bersama orangtua ketika beranjak dewasa tentunya sangat berbeda dengan
perubahan-perubahan yang terjadi pada anak yang tinggal di panti asuhan.
Selain
itu, perkembangan kepribadian seseorang dipengaruhi pula oleh semakin
bertambahnya usia seseorang. Semakin bertambah tua seseorang, tampak semakin
pasif, motivasi berprestasi dan kebutuhan otonomi semakin turun, dan locus of
control dirinya semakin mengarah ke luar (eksternal).
Budaya dan Indigenous Personality
Berbagai
persoalan mendasar yang muncul dalam kajian kepribadian dalam tinjauan lintas
budaya dia atas menggambarkan sebuah kenyataan bahwa antar budaya yang berbeda
sangat mungkin secara mendasar memiliki pandangan yang berbeda mengenai apa
tepatnya kepribadian itu. Suatu kenyataan yang merangsang perlunya
kajian-kajian yang bersifat lokal atau indigenous personality yang mampu
memberi penjelasan mengenai kepribadian individu dari suatu budaya secara
mendalam. Konseptualisasi mengenai kepribadian yang dikembangkan dalam sebuah
budaya tertentu dan relevan hanya pada budaya tersebut.
Sebagai
contoh kajian indigenous personality adalah penelitian yang dilakukan Doi
(1973). Doi mengemukakan adanya Amae yang dikatakan sebagai inti konsep dari
kepribadian orang-orang Jepang. Amae berakar pada kata ‘manis’, dan secara
perlahan dirujukkan sebagai sifat pasif, ketergantungan antar individu.
Dipaparkan pula bahwa Amae berakar pada hubungan antara bayi dengan ibunya.
Menurut Doi, relationship seluruh orang Jepang dipengaruhi dan berkarakteristik
Amae, sebagaimana Amae ini secara mendasar mempengaruhi budaya dan kepribadian
orang Jepang. Suatu konsep yang memandang kepribadian sebagai bagian tak
terpisahkan dari konsep hubungan sosial.
Temuan
mengenai Amae di atas menunjukkan adanya perbedaan konsep kepribadian antara
orang Jepang dan orang Amerika. Para Psikolog Amerika memandang bahwa yang
menjadi inti kepribadian adalah konsep Ego. Ego disebut ekslusif kepribadian
karena Ego mengontrol pintu-pintu kearah tindakan, memilih segi-segi lingkungan
kemana ia dan bagaimana caranya, serta memiliki kuasa mengontrol proses-proses
kognitif berupa persepsi, memori dan berpikir. Tujuan terpenting dari Ego
adalah mempertahankan kehidupan individu. Konsep yang memandang kepribadian
sebagai suatu yang bersifat otonom.
Budaya dan Konsep Diri
Definisi konsep diri
Konsep
diri adalah organisasi dari persepsi-persepsi diri. Organisasi dari bagaimana
kita mengenal, menerima dan mengenal diri kita sendiri. Suatu deskripsi tentang
siapa kita, mulai dari identitas fisik, sifat hingga prinsip.
Berpikir
mengenai bagaimana mempersepsi diri adalah bagaimana seseorang memberi gambaran
mengenai sesuatu pada dirinya. Selanjutnya label akan sesuatu dalam diri tersebut
digunakan sekaligus untuk mendeskripsikan karakter dirinya. Sebagai contoh,
seseorang yang mengatakan bahwa dirinya adalah seorang yang humoris. Deskripsi
ini berimplikasi bahwa: (1) orang tersebut memiliki atribut sebagai seorang
yang humoris dalam dirinya, yang boleh jadi merupakan kemampuan ataupun
ketertarikan terhadap segala hal yang berbau humor, (2) semua tindakan, pikiran
dan perasaan orang tersebut mempunyai hubungan yang dekat dengan atribut
tersebut, bahwa orang tersebut selama ini dalam setiap perilakunya selalu
tampak humoris, (3) tindakan, perasaan dan pikiran orang tersebut di masa yang
akan datang akan dikontrol oleh atributnya tersebut, bahwa orang tersebut dalam
perilakunya di esok hari akan selalu menyesuaikan dengan atributnya tersebut.
Asumsi-asumsi
akan pentingnya konsep diri berakar dari pemilikiran individualistik barat.
Dalam masyarakat barat, diri dilihat sebagai sejumlah atribut internal yang
meliputi kebutuhan, kemampuan, motif, dan prinsip-prinsip. Konsep diri adalah
inti dari keberadaan (existence) dan secara naluriah tanpa disadari
mempengaruhi setiap pikiran, perasaan dan perilaku individu tersebut.
Diri individual
Diri
individual adalah diri yang fokus pada atribut internal yang sifatnya personal;
kemampuan individual, inteligensi, sifat kepribadian dan pilihan-pilihan
individual. Diri adalah terpisah dari orang lain dan lingkungan.
Budaya
dengan diri individual mendesain dan mengadakan seleksi sepanjang sejarahnya
untuk mendorong kemandirian sertiap anggotanya. Mereka didorong untuk membangun
konsep akan diri yang terpisah dari orang lain, termasuk dalam kerangka tujuan
keberhasilan yang cenderung lebih mengarah pada tujuan diri individu.
Dalam
kerangka budaya ini, nilai akan kesuksesan dan perasaan akan harga diri megambil
bentuk khas individualisme. Keberhasilan individu adalah berkat kerja keras
dari individu tersebut.
Diri
individual adalah terbatas dan terpisah dari ornag lain. Informasi relevan akan
diri yang paling penting adalah atribut-atribut yang diyakini stabil, konstan,
personal dan instrinsikdalam diri.
Diri kolektif
Budaya
yang menekankan nilai diri kolektif sagat khas dengan cirri perasaan akan
keterkaitan antar manusia satu sama lain, bahkan antar dirinya sebagai mikro
kosmos dengan lingkungan di luar dirinya sebagai makro kosmos. Tugas utama
normative pada budaya ini adalah bagaimana individu memenuhi dan memelihara
keterikatannya dengan individu lain. Individu diminta untuk menyesuaikan diri
dengan orang lain atau kelompok dimana mereka bergabung. Tugas normative
sepanjang sejarah budaya adalah mendorong saling ketergantungansatu sama lain.
Karenanya, diri (self) lebih focus pada atribut eksternal termask kebutuhan dan
harapan-harapannya.
Dalam
konstruk diri kolektif ini, nilai keberhasilan dan harga diri adalah apabila
individu tersebut mampu memenuhi kebutuhan komunitas dan menjadi bagian penting
dalam hubungan dengan komunitas. Individu focus pada status keterikatan mereka
(interdependent), dan penghargaan serta tanggung jawab sosialnya. Aspek
terpenting dalam pengalaman kesadaran adalah saling terhubung antar personal.
Dapat
dilihat bahwa diri (self) tidak terbatas, fleksibel, dan bertempat pad konteks,
serta saling overlapping antara diri dengan individu-individu lain khususnya
yang dekat atau relevan. Dalam budaya diri kolektif ini, informasi mengenai
diri yang terpenring adalah aspek-aspek diri dalam hubungan.
Pengaruhnya terhadap persepsi diri
Studi
yang dilakukan oleh Bond danTak-Sing (1983), dan Shwender dan Bourne (1984)
menunjukkan bagaimana perbedaan konstruk diri mempengaruhi persepsi diri. Studi
ini membandingkan kelompok Amerika dan kelompok Asia, subyek diminta menuliskan
beberapa karakteristik yang menggambarkan diri mereka sendiri. Respon yang
diberikan subyek bila dianalisa dapat dibagi ked lam dua jenis, yaitu respon
abstrak atau deskripsi sifat kepribadian seperti saya seorang yang mudah
bergaul, saya orang yang ulet; dan respon situasional seperti saya biasanya
mudah bergaul dengan teman-teman dekat saya.
Hasil
studi menunjukkan bahwa subyek Amerika cenderung memberikan respon abstrak
sedangkan subyek Asia cenderung memberikan respon situasional. penemuan ini
menyatakan bahwa individu dengan konstruk diri yang dependent cenderung
menekankan pada atribut personal: kemampuan ataupun sifat kepribadian;
sebaliknya individu dengan konstruk diri intersependent lebih cenderung melihat
diri mereka dalam konteks situasional dalam hubungannya dengan orang lain.
Pengaruhnya pada social explanation
Konsep
diri juga menjadi semacam pola panduan bagi kognitif dalam melakukan
interpretasi terhadap perilaku orang lain. Individu dengan diri individual,
yang memiliki keyakinan bahwa setiap orang memiliki serangkaian atribut
internal yang relatif stabil, akan menganggap orang lain juga memiliki hal yang
sama. Hasilnya, ketika mereka melakukan pengamatan dan interpretasi terhadap
perilaku orang lain, mereka berkeyakinan dan mengambil kesimpulan bahwa
perilaku orang lain tersebut didasi dan didorong oleh aspek-aspek dalam atribut
internalnya.
Pengaruhnya pada motivasi berprestasi
Motivasi
adalah faktor yang membangkitkan dan menyediakan tenaga bagi perilaku manusia
dan organisme lainnya. motivasi manusia merupakan konsep yang paling banyak
menarik perhatian dan diteliti dalam kajian psikologi, sekaligus paling controversial
karena banyaknya definisi dan pemikiran yang dikembangkan. Teori motivasi yangn
terkenal diantaranya disampaikan oleh Maslow dan Mc-Clelland.
Dalam
teori motivasi Maslow, manusia memiliki hierarki kebutuhan dari kebutuhan
paling dasar yaitu fisiologis hingga kebutuhan paling tinggi yaitu aktualisasi
diri. Sementara menurut Mc-clelland, manusia juga dimotivasi oleh dorongan
sekunder yang penuh tenaga yang tidak berbasis kebutuhan, yaitu berprestasi,
berafiliasi atau menjalin hubungan, dan berkuasa.
Dalam
tradisi barat, konsep diri bersifat individual, motivasi diasosiasikan sebagai
sesuatu yang personal dan internal, dan kurang terkait dengan konteks sosial
ataupun interpersonal. Dalam komunitas tradisi timur, konsep diri condong
dilihat sebagai bagian kolektifitas, kesuksesan adalah untuk mencapai tujuan
sosial yang lebih luas. Kesuksesan selalu dipandang terkait dengan kebanggaan
dan kebahagiaan orang lain, terutama orang-orang terdekat.
Pengaruhnya pada peningkatan diri (self
enhancement)
Memelihara
atau meningkatkan harga diri diasumsikan akan memiliki bentuk yang berbeda pada
budaya yang cenderung interdependent. Diantara orang-orang yang datang dari
budaya interdependent, penaksiran atribut internal diri mungkin tidak terkait
dengan harga diri (self esteem) ataupun kepuasan diri (self satisfiaction).
Sebaliknya, harga diri ataupun kepuasan diri terlihat lebih terkait dengan
keberhasilan memainkan perannya dalam kelompok, memelihara harmoni, menjaga
ikatan, dan saling membantu. Bagi orang-orang dri interdependent culture,
melihat dirir sebagai unik atau berbeda malah akan menjadikan ketidakseimbangan
psikologis diri. Mereka akan merasa terlempar dari kelompoknya dan kesepian
sebagai manusia.
Pengaruhnya pada emosi
Emosi
dapat diklasifikasikan atas arah hubungan sosial dari emosi, yaitu apakah emosi
tersebut akan mengarahkan pada pemisahan diri dengan lingkungan, penarikan
diri, ataupun penolakan hubungan sosial sekaligus secara simultan meningkatkan
rasa penerimaan diri untuk mandiri dan lepas dari ketergantungan pada orang
lain yang selanjutnya disebut socially disengaged emotions dan emosi yang akan
mengarahkan pada keterhubungan dengan orang lain dan lingkungan luarnya atau
dikenal sebagai socially engaged emotions.
Penutup
Menutup
uraian makalah ini, ijinkanlah penulis kembali mengingatkan hakikat dari
perbedaan yang ada di muka bumi, yaitu agar manusia saling mengenal sesamanya.
Adanya latar belakang budaya yang berbeda, tentu akan dapat melahirkan
perbedaan pemikiran. Namun demikian, perbedaan pemikiran itu hendaknya tidak
melulu menjadi suatu perdebatan di antara masyarakat. Perbedaan itu hendaknya
menjadi kekayaan bersama dalam khasanah kebudayaan masyarakat dunia yang memang
heterogen.
Ketepatan
kita dalam memandang suatu permasalahan melalui perspektif tertentu akan dapat
mengeliminasi permusuhan antar golongan. Sebagaimana dikemukakan oleh Freud,
pada hakikatnya insting mati memang telah ada dalam diri manusia. Hanya saja,
penulis berkeyakinan bahwa insting dalam diri manusia selalu dapat dikendalikan.
Oleh karena itu, penggunaan sudut pandang yang tepat dalam mengkaji suatu
masalah budaya adalah langkah yang tepat untuk dapat mengendalikan insting
manusia.
No comments:
Post a Comment