Neoliberalisme
itu istilah licin yang sering mengecoh pemakainya. Misalnya, ekonomi pasar
dianggap identik neoliberalisme. Neoliberalisme memang melibatkan aplikasi
ekonomi-pasar, tetapi tidak semua ekonomi-pasar bersifat neoliberal (ekonomi
pasar sosial, bukan neoliberal). Atau, privatisasi sering dilihat identik
dengan ciri kebijakan neoliberal. Padahal, tidak semua program privatisasi
bersifat neoliberal. Mengapa istilah itu berawalan neo?
Awalan
neo (baru) pada istilah neoliberalisme menunjuk gejala kemiripan tata ekonomi
30 tahun terakhir dengan masa kejayaan liberalisme ekonomi di akhir abad ke-19
dan awal abad ke-20, yang ditandai dominasi financial capital dalam proses
ekonomi. Namun, apa yang terjadi dalam 30 tahun terakhir bercorak lebih ekstrem
daripada seabad lalu.
Reinkarnasi
liberalisme ekonomi akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 dalam bentuk lebih
ekstrem itu berlangsung dengan mengakhiri era besar yang disebut embedded
liberalism. Embedded liberalism merupakan model ekonomi setelah Perang Dunia II
hingga akhir dekade 1970-an. Intinya, kinerja ekonomi pasar dikawal dengan
seperangkat aturan yang membuat relasi antara modal dan tenaga-kerja tidak
selalu berakhir dengan subordinasi labour pada capital. Seperti tata ekonomi
seabad lalu, neoliberalisme berisi kecenderungan lepasnya kinerja modal dari
kawalan, tetapi dalam bentuk lebih ekstrem.
Dari
hal kecil itu tampak, betapa sulitnya menunjuk persis arti neoliberalisme.
Selain itu, neoliberalisme merupakan istilah yang lebih terpahami dalam konteks
intelektual Eropa (istilah liberal punya arti lain di AS). Dalam perjalanan
sejarah yang tumpang tindih, neoliberalisme banyak dikaitkan visi ekonomi
kelompok seperti Mont Pelerin Society dan ekonom mazhab Chicago , seperti Milton Friedman, Gary
Becker, dan George Stigler. Namun, neoliberalisme bukan sekadar ekonomi. Ia
visi tentang manusia dan masyarakat, dengan cara pikir ekonomi yang khas
sebagai perangkat utama. Mungkin dua lapis definisi yang saling terkait dapat
membantu memahami jantung filsafat ekonomi neoliberalisme.
Visi antropologis
Lain
dengan liberalisme abad ke-19, neoliberalisme berkembang melalui reduksi
manusia sebagai makhluk ekonomi (homo oeconomicus). Tak ada yang aneh pada
reduksi itu. Penciutan pengandaian itu tidak dengan sendirinya keliru.
Keketatan berpikir dalam kinerja tiap ilmu biasanya melibatkan penciutan,
seperti geografi berangkat dari pengandaian manusia sebagai makhluk ruang; ilmu
hukum dari premis manusia sebagai makhluk tata aturan.
Apakah
visi antropologis yang telah diciutkan demi keketatan proses berpikir suatu
bidang ilmu mengungkapkan seluruh dimensi manusia, tentu soal lain. Dari
keragaman bidang akademis pun dari matematika hingga sastra, dari antropologi
sampai teknologi sudah pasti penciutan asumsi bukan seluruh fakta dimensi
manusia. Manusia pasti homo oeconomicus, tetapi homo oeconomicus pastilah bukan
keseluruhan manusia.
Yang
menarik dari visi neoliberal adalah pengandaian manusia sebagai homo
oeconomicus direntang luas untuk diterapkan pada semua dimensi hidup manusia.
Pada gilirannya, perspektif oeconomicus itu direntang untuk menjadi prinsip
pengorganisasian seluruh masyarakat. Inilah aspek yang mungkin paling tegas
membedakan ekonomi neoliberal dari ekonomi liberal klasik. Tak ada yang lebih
eksplisit dalam proyek perentangan ini daripada Gary Becker dalam The Economic
Approach to Human Behavior (1976): pendekatan ekonomi menyediakan kerangka
semesta untuk memahami semua tingkah laku manusia.
Bagaimana
mungkin sebuah visi, yang karena tuntutan bidang ilmu berdiri di atas penciutan
asumsi, menjadi dominan? Tak ada teori yang berjalan sendiri.
Virtualisasi ekonomi
Dalam
stagnasi ekonomi negara-negara maju pada dasawarsa 1970-an, dan dalam revolusi
teknologi informasi sejak awal dekade 1980-an, kecenderungan itu mengalami
evolusi lanjut dan menghasilkan ciri utama neoliberalisme. Perspektif
oeconomicus bukan hanya direntang untuk diterapkan pada dimensi lain hidup
manusia, bahkan dalam perspektif oeconomicus sendiri berkembang hierarki
prioritas: prioritas sektor finansial (financial capital) atas sektor-sektor
lain dalam ekonomi.
Hasilnya
adalah revolusi produk finansial, seperti derivatif, sekuritas, dan semacamnya.
Tren ini lalu mempertajam pembedaan antara sektor virtual dan sektor riil dalam
ekonomi, dengan prioritas yang pertama. Dalam bahasa sederhana, proses ekonomi
bergerak dengan prioritas transaksi uang ketimbang produksi barang/jasa riil.
Ada
anggapan, maraknya transaksi produk-produk finansial akan mengalir langsung ke
investasi di sektor riil (dalam bentuk pabrik atau sepatu), yang diharapkan
menyediakan lapangan kerja dan mengurangi pengangguran. Ekonom Gérard Duménil
dan Dominique Lévy punya temuan penting dengan data statistik menawan. Dalam
karya baru, Capital Resurgent (2004), mereka menemukan tetesan itu amat minim,
di AS maupun di Perancis. Simpulnya, finance finances itself, but does not
finance investment. Pokok ini sentral karena kritik atas neoliberalisme
biasanya dianggap sikap anti-investasi, antipertumbuhan, antiekonomi pasar, dan
semacamnya.
Dalam
fakta, visi neoliberal yang berdiri di atas asumsi tentang manusia yang sudah
amat diciutkan itu tentu penuh kontradiksi. Misalnya, bila dalam visi
neoliberal tiap orang atau perusahaan bertanggung jawab atas diri sendiri,
bagaimana harus dijelaskan bailout banyak bank dan perusahaan dengan uang
setiap orang melalui dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI)? Itulah mengapa
tak sedikit ahli menyimpulkan, neoliberalisme merupakan cara para tuan besar
modal merebut kembali kekuasaan, sesudah mereka terkekang dalam periode setelah
PD II sampai dasawarsa 1970-an.
Jadi,
neoliberalisme baik atau buruk? Silakan menyimpulkan sendiri. Namun, untuk itu
kita perlu berguru. Bulan Oktober 2005 terbit buku A Brief History of
Neoliberalism karya David Harvey, mahaguru geografi dan ekonomi politik.
Buku
serius tetapi ringan itu amat perlu dibaca presiden, wakil presiden, para
pengambil kebijakan publik, pelaku bisnis, dan khalayak pembaca di Indonesia.
Seusai
membaca buku itu, saya merasa Indonesia mirip negeri yatim piatu.
No comments:
Post a Comment